Senin, 14 Desember 2009

MEMUTUSKAN HUBUNGAN DENGAN SAUDARA MUSLIM LEBIH DARI TIGA HARI



Di antara langkah syaitan dalam menggoda dan menjerumuskan manusia adalah dengan memutuskan tali hubungan antara sesama umat Islam. Ironinya, banyak umat Islam terpedaya mengikuti langkah langkah syaitan itu. Mereka menghindar dan tidak menyapa saudaranya sesama muslim tanpa sebab yang dibenarkan syara’. Misalnya karena percekcokan masalah harta atau karena situasi buruk lainnya.
Terkadang, putusnya hubungan tersebut langsung terus hingga setahun. Bahkan ada yang sumpah untuk tidak mengajaknya bicara selama-lamanya, atau bernadzar untuk tidak menginjak rumahnya. Jika secara tidak sengaja berpapasan di jalan ia segera membuang muka. Jika bertemu di suatu majlis ia hanya menyalami yang sebelum dan sesudahnya dan sengaja melewatinya. Inilah salah satu sebab kelemahan dalam masyarakat Islam. Karena itu, hukum syariat dalam masalah tersebut amat tegas dan ancamanya pun sangat keras.
Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Tidak halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari, barang siapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal maka ia masuk neraka” (HR Abu Dawud, 5/215, Shahihul Jami’ : 7635)
Abu khirasy Al Aslami Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa memutus hubungan dengan saudaranya selama setahun maka ia seperti mengalirkan darahnya (membunuhnya) “ (HR Al Bukhari Dalam Adbul Mufrad no : 406, dalam Shahihul Jami’: 6557)
Untuk membuktikan betapa buruknya memutuskan hubungan antara sesama muslim cukuplah dengan mengetahui bahwa Allah menolak memberikan ampunan kepada mereka. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu , Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“semua amal manusia diperlihatkan (kepada Allah) pada setiap Jum’at (setiap pekan) dua kali; hari senin dan hari kamis. Maka setiap hamba yang beriman diampuni (dosanya) kecuali hamba yang di antara dirinya dengan saudaranya ada permusuhan. Difirmankan kepada malaikat :” tinggalkanlah atau tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini sehingga keduanya kembali berdamai” (HR Muslim : 4/1988)
jika salah seorang dari keduanya bertaubat kepada Allah, ia harus bersilaturrahim kepada kawannya dan memberinya salam. Jika ia telah melakukannya, tetapi sang kawan menolak maka ia telah lepas dari tanggungan dosa, adapun kawannya yang menolak damai, maka dosa tetap ada padanya.
Abu Ayyub Radhiallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Tidak halal bagi seorang laki-laki memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga malam. Saling berpapasan tapi yang ini memalingkan muka dan yang itu (juga) membuang muka. Yang terbaik di antara keduanya yaitu yang memulai salam” (HR Bukhari, Fathul Bari : 10/492)
Tetapi jika ada alasan yang dibenarkan, seperti karena ia meninggalkan shalat, atau terus menerus melakukan maksiat sedang pemutusan hubungan itu berguna bagi yang bersangkutan misalnya membuatnya kembali kepada kebenaran atau membuatnya merasa bersalah maka pemutusan hubungan itu hukumnya menjadi wajib. Tetapi jika tidak mengubah keadaan dan ia malah berpaling, membangkang, menjauh, menantang, dan menambah dosa maka ia tidak boleh memutuskan hubungan dengannya. Sebab perbuatan itu tidak membuahkan maslahat tetapi malah mendatangkan madharat. Dalam keadaan seperti ini, sikap yang benar adalah terus-menerus berbuat baik dengannya, menasehati dan mengingatkannya.
Seperti hajr (pemutusan hubungan) yang dilakukan Nabi Shallallahu'alaihi wasallam kepada Ka’ab bin Malik dan dua orang kawannya, karena beliau melihat dalam hajr tersebut terdapat maslahat. Sebaliknya bila menghentikan hajr kepada Abdullah bin Ubay bin Salul dan orang-orang munafik lainnya karena hajr kepada mereka tidak membawa faidah. [Keterangan : Syaikh Bin Baz]

Sumber : Dosa-Dosa yang dianggap Biasa, Muhammad Shalih Al-Munajjid

Minggu, 05 April 2009

ISTIQOMAH DI JALAN ALLOH


Secara etimologi istiqomah berarti tegak dan lurus. Sedangkan secara terminologi para ulama salaf berbeda pendapat dalam menafsirkan kata istiqomah. Perbedaan tersebut hanya pada redaksional saja. Antara satu dan lainnya tidak bertentangan, yang kesimpulannya bahwa istiqomah adalah sikap tengah dalam segala perkara, dalam ucapan dan perbuatan. Memelihara jiwa agar selalu berada dalam kondisi yang baik sehingga tidak tampak jelek atau terjerumus dalam kejelekan.
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintah untuk istiqomah, di antaranya adalah firman Alloh ,
”Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan:"Rabb kami ialah Alloh", kemudian mereka tetap istiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita”. (QS. 46:13).  
Baca juga surat Fushshilat: 6, & 30-32, Hud: 112, al-Jin: 16, al-An’am: 153, Ali Imran: 101 dan lainnya.
Adapun hadits Rasulullah yang memerintahkan untuk istiqamah adalah hadits di atas. Imam Nawawi dalam mengomentari hadits tersebut mengatakan bahwa hadits ini adalah salah satu hadits yang menjadi landasan ajaran Islam. DR. Mushthafa al-Buga dalam kitabnya al-Waafi ketika menjelaskan hadits ini menyebutkan pentingnya istiqomah hati, karena inilah landasan dari sikap istiqomah itu. Istiqomah hati dalam bertauhid kepada Alloh dengan cara takut, mengharap, tawakkal dan beribadah kepada-Nya serta meninggalkan selain Alloh. Apabila hati bisa istiqamah dalam kebaikan maka anggota tubuh yang lain akan mengikutinya, sebagaimana sabda Rasulullah:
 Artinya, “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya dan jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyiir).
Hati adalah sumber kebaikan dan keburukan seseorang. Bila hati penuh dengan ketaatan kepada Alloh, maka perilaku seseorang akan penuh dengan kebaikan. Sebaliknya, bila hati penuh dengan syahwat dan hawa nafsu, maka yang akan muncul dalam perilaku adalah keburukan dan kemaksiatan. Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Alloh. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata,
"Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Alloh, maka setan dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan."
Oleh karena itu hati seorang mukmin harus senantiasa dijaga dari pengaruh setan ini. Yaitu, dengan senantiasa berada dalam sikap taat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Upaya inilah yang disebut dengan Istiqomah. Imam al-Qurtubi berkata, "Hati yang istiqomah adalah hati yang senantiasa lurus dalam ketaatan kepada Alloh, baik berupa keyakinan, perkataan, maupun perbuatan." Lebih lanjut beliau mengatakan, "Hati yang istiqomah adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan dari azab akhirat. Hati yang istiqomah akan membuat seseorang dekat dengan kebaikan, rezekinya akan dilapangkan dan akan jauh dari hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati yang istiqomah, maka malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan keamanan serta ketenangan dari ketakutan terhadap adzab kubur. Hati yang istiqomah akan membuat amal diterima dan menghapus dosa."
Ada banyak cara untuk menggapai hati yang istiqomah ini. Di antaranya: 
Pertama, meletakkan cinta kepada Alloh di atas segala-galanya. Ini adalah persoalan yang tidak mudah dan butuh perjuangan keras. Karena, dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalami benturan antara kepentingan Allah dan kepentingan makhluk, entah itu kepentingan orang tua, guru, teman, saudara, atau yang lainnya. Apabila dalam kenyataanya kita lebih mendahulukan kepentingan makhluk, maka itu pertanda bahwa kita belum meletakkan cinta Alloh di atas segala-galanya. 
Kedua, membesarkan perintah dan larangan Alloh. Membesarkan perintah dan larangan Alloh harus dimulai dari membesarkan dan mengagungkan pemilik perintah dan larangan tersebut, yaitu Alloh. Membesarkan perintah Alloh di antaranya adalah dengan menjaga waktu shalat, melakukannya dengan khusyu, memeriksa rukun dan kesempurnaannya serta melakukannya secara berjamaah.  
Ketiga, senantiasa berzikir kepada Alloh karena itulah perintah Alloh dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis qudsi Alloh berfirman,
"Barangsiapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingat-Nya dalam diri-Ku. Dan barang siapa yang mengingat-Ku dalam keramaian, maka Aku akan mengingat-Nya dalam keramaian yang lebih baik darinya." (HR Bukhari).
Keempat, Mempelajari kisah orang-orang shaleh terdahulu. Hal ini diharapkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Bagaimana kesabaran mereka ketika menghadapi ujian yang berat, kejujuran mereka dalam bersikap, dan keteguhan mereka dalam mempertahankan keimanan. Sebagaimana firman Alloh, " Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. 12:111).
Disamping istiqomah hati, pada kitab yang sama al-Buga juga menulis pentingnya istiqamah lisan karena ia merupakan pengungkap kata hati. Ketika Rasululloh ditanya tentang apa yang paling beliau khawatirkan dari umatnya. Tanpa berbicara beliau memegang lidahnya. (HR.Turmudzi-shahih).
DR. Ahmad bin Yusuf al-Duraiwisy dalam bukunya al-Istiqomah menyebutkan beberapa rukun atau pondasi untuk membangun keistiqomahannya diantaranya keshalihan, keteguhan dalam sunnah dan jamaah, sikap pertengahan antara ekstrim dan menyepelekan, akhlak yang mulia, dan teman yang shalih.
Dalam kitab Haqiqatul iltizam-nya Syaikh Abdulloh bin Abdurrahman Al-Jibrien menambahkan beberapa hal yang diperhatikan untuk menjaga keistiqomahan diantaranya Berusaha mengamalkan Assunnah semampunya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Dari Abdullah bin Amru bin Al-Alsh berkata : Rasulullah bersabda “Akan terjadi pada umatku apa yang terjadi pada bani Isra’il setapak demi setapak, sampai kalau ada diantara mereka yang mendatangi ibunya dalam keadaan terbuka juga akan terjadi pada umatku seperti itu, dan sesungguhnya bani Isra’il terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan semuanya di Neraka kecuali satu, para sahabat bertanya, ”siapa mereka itu ya Rasululloh?” Beliau menjawab, “siapa yang bisa seperti –Ku dan sahabat-Ku.” [HR Atturmuziy no 2641 kitab Iman bab Iftiraqul ummah hadist ini punya syawahid yang banyak sebagaimana pada awal kitad AS-Syari’ah karangan Imam Al-Ajurriy). Di samping itu seorang yang ingin tetap istiqomah harus banyak thalabul ilmu agar tidak terjebak kepada amaliyah yang tidak ada tuntunan syariahnya. Dari sinilah Imam Al-Bukhari menulis sebuah bab dalam kitabnya “Bab al’ilmu qabla alqaul wa’lamal” Juga berusaha menjauhi perbuatan maksiat atau hal yang tidak bermanfaat, Alloh Azza wa Jalla berfirman,
”Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Alloh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Alloh - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui. (QS. 3:135).
Yang dimaksud dengan al-ishrar (meneruskan perbuatan kejinya) dalam ayat diatas adalah “Seorang mengerjakan dosa kemudian menyepelekannya”. (Sya’bul iman Imam Al Baihaqi no 7154). Dari Abu Hurairah Rasululloh bersabda ”Termasuk kebaikan Islam seseorang, meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya” [HR- At-Tirmidziy-hasan].
Untuk menjaga keistiqomahan Syaikh Abu Mushab dalam kitabnya al- Ilmam fi Asbaab Dho’ fi al-Iltizam menyebutkan beberapa perbuatan yang bisa melemahkan keistiqomahan diantaranya lemahnya keikhlasan, kurangnya ilmu syar’i dan jauhnya dari ahli agama, futur, lemahnya muhasabah, sibuk dengan keluarga, al-Faudhawiyah / kesemrawutan, sibuk dengan aib orang lain, tidak menghargai waktu, bergaul dengan orang yang tidak baik, dan tidak mempunyai semangat dan harapan. Akhirnya marilah senantiasa kita berdoa kepada Alloh Dia memberikan kita keistiqomahan hati di dalam agama-Nya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi beliau berdoa:


ketika ditanya oleh Ummu Salamah kenapa begitu sering mengucapkan doa tersebut, Beliau menjawab; Wahai Ummu Salamah ! sesungguhnya tidak ada satupun anak Adam kecuali hatinya berada diantara jari-jari Alloh. Kalau Dia Berkehendak untuk menjadikannya istiqomah ia jadikan, dan barangsiapa yang dikehendaki untuk menyeleweng Diapun berkuasa. Kemudian Rasulullah membaca ayat:
Artinya,”Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" (QS. 3:8).
Referensi:
(I)Ahmad bin Yusuf al-Duraiwisy, al-Istiqomah Arkaanuhu wa al-Wasailu al-Mu’inah ala Tathbiqihi, terj. Istiqomah oleh Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2001).
(2)Mushthafa al-Bugha, al-Waafi fi Syarhi al-Arbaiin al-Nawawi (Riyad: Daar al-Dulaiqan, 1999).
(3)Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrien Kitab Haqiqatul iltizam dan Abu Mushab, al- Ilmam fi Asbaab Dho’ fi al-Iltizam.
Sumber: Maktabah Abu Salma al-Atsari

Senin, 23 Maret 2009

SELAYANG PANDANG


Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarrakatuh

Ahamdulillah segala puji bagi Allah rabb semesta alam yang tiada ilah yang haq untuk di sembah kecuali Dia, sholawat serta salam semoga tetap tercurah bagi qudwwah khasanah kita Nabi Allah Rasulullah Muhammad SAW. Ama' ba'du

Inilah kami Masjid An Nashr Bintaro Jaya sektor 5, pendatang baru yang hendak insya Allah bersama saudaraku sekalian yang telah lebih dahulu menggunakan media maya ini sebagai sarana dakwah ilallah.

Semoga Allah SWT yang Maha Kuasa memberikan kemampuan kepada kita semua dalam memikul beban dakwah ini.

Allahu Akbar...